Senin, 30 Juni 2014

Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra


*Siapakah yang tidak mengenal Wanita Ini?

Namanya adalah Fatimah binti Muhammad (606/614 - 632) atau lebih dikenal denganFatimah az-Zahra yang berarti Fatimah yang selalu berseri. Ia merupakan putri bungsu Nabi Muhammad dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadijah. Ia putri yang mirip dengan ayahnya, bahkan Aisyah berkata ,” Aku tidak melihat seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fatimah. Rasulullah sangat menyayangi Fatimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fatimah sebelum menemui istri istrinya dan jika Fatimah datang mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fatimah bila Rasulullah datang mengunjunginya. 
Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak hanya merupakan putri dari Rasulullah, namun juga mampu menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau. Fatimah Az-Zahra memiliki kepribadian yang sabar,dan penyayang karena ia tidak pernah melihat atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Rasullullah sering sekali menyebutkan nama Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasulullah pernah berkata "Fatimah merupakan bidadari yang menyerupai manusia"

Dan ini Pangeran kita!

Namanya Alī bin Abī Thālib. Ia lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661. Ia adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Sosok Ali adalah lelaki sebenarnya, sifat baiknya melebihi matahari waktu dhuha. Menyibak semua masalah. Istananya hanya gubuk tua, dan Pedang berkilau adalah Harta kekayaannya. Ali juga menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali sendiri merupakan sepupu dari Nabi Muhammad SAW. Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Nabi Muhammad SAW sangat Bahagia akan Kelahiran Ali bin Abi Thalib karena beliau tidak punya anak laki-laki. Keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi Muhammad SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga dari kecil Ali sudah bersama dengan Nabi Muhammad SAW.

Ali senantiasa selalu menjaga Pandangannya untuk tidak melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Bahkan pernah suatu kali saat ia melakukan  pertempuran ia melihat pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan pertempuran hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.

Dalam kisah lain, dengan susah payah seorang pengemis datang memasuki Masjid Nabawi di Madinah untuk meminta sesuatu. Sayang, ia hanya melihat orang-orang melaksanakan shalat dengan khusyuk. Rasa lapar yang kuat mendorongnya untuk meminta-minta kepada orang-orang yang sedang shalat. Namun tak satupun menghiraukan dan tetap khusyuk dalam shalatnya.
Diambang keputusasaannya, pengemis itu mencoba menghampiri seseorang yang khusyuk melakukan rukuk. Kepadanya ia minta belas kasihan. Ternyata kali ini ia berhasil. Masih dalam keadaan rukuk, orang itu memberikan cincin besinya kepada pengemis itu. Tidak lama setelah itu, Rasulullah memasuki masjid, melihat pengemis itu lalu mendekatinya.
“Adakah orang yang telah memberimu sedekah?”
“Ya, alhamdulillah.”
“Siapa dia?”
“Orang yang sedang berdiri itu,” kata si pengemis sambil menunjuk dengan jari tangannya.”
“Dalam keadaan apa ia memberimu sedekah?”
“Sedang rukuk!”
“Ia adalah Ali bin Abi Thalib,” kata Nabi. Ia lalu mengumandangkan takbir dan membacakan ayat, “Dan barang siapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama Allah) itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 56).





Cinta sejati adalah cinta yang selalu bersemi dengan tidak memandang Rupa, Harta maupun Pangkat yang ada padanya. Cinta sejati tidak akan menyakiti, membodohkan atau bahkan menyesatkan. Cinta sejati juga tidak akan menghalangi cinta seseorang kepada Allah dan RasulNYA. Cinta anak adam kepada Ayah Ibunya, Suaminya, Kakaknya, Adiknya, Anak-anaknya dan semua yang dimilikinya di dunia. Mungkin ini hanya sebuah kisah lama tetapi saya berharap kita dapat belajar dari kisah cinta Insan Manusia yang begitu di rindukan Surga dan di Irikan oleh para Bidadari Surga.

*Inilah Kisah Cinta Ali Bin abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra*


Kisah cinta Ali dan Fatimah adalah salah satu kisah yang penuh Romantika dan Keberkahan dari Allah SWT. Fathimah adalah teman karib Ali semenjak kecil, puteri tersayang Rosulullah, sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rosulullah yang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya maupun kecerdasannya sungguh memesonanya.
Ali bin Abi Thalib sejak Fatimah masih kanak-kanak sudah memperhatikan sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari ketika ayahnya (Rosulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. 

Muhammad ibn ’Abdullah (sang ayah yang Tepercaya) tidak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik (Fatimah) itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah, di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. 

Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Ali bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat dan tingkah laku Fatimah) disebut cinta?. 

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan bahwa Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali bin Abi Thalib. 

Ia merasa diuji karena merasa, apalah ia dibanding dengan Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara Ali bin Abi Thalib bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib) semasa kanak-kanak kurang pergaulan. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. 

Siapa budak yang dibebaskan Ali bin Abi Thalib? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Ali bin Abi Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali bin Abi Thalib. 

Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, 
aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya. 
Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak, dan Ali bin Abi Thalib terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri menyambut Fathimah. Tapi, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut, yaitu Umar bin Khaththab.

Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar bin Khaththab memang masuk Islam belakangan, sekitar tiga tahun setelah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali bin Abi Thalib mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab..”.  

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin Khaththab melakukannya?. Ali bin Abi Thalib menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rosulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.

Umar bin Khaththab  telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’. Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib), sekali lagi sadar. 

Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.  Umar bin Khaththab  jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib pun ridha.

Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk menanti. tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya. 
Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan. 

Maka Ali bin Abi Thalib pun bingung ketika mendengar kabar lamaran Umar bin Khaththab  juga ditolak.

Ingin menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Rosulullah? Yang seperti ’Utsman bin Affan, sang miliyader yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri  Ali bin Abi Thalib. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunannya.

”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Rosulullah.. ”.

 Aku?”, tanyanya tak yakin.

”Ya. Engkau wahai saudaraku!”

”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

Ali bin Abi Thalib pun menghadap Rosulullah, maka dengan memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya menikahi Fathimah. 

Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. 
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya terjawab, ”Ahlan wa sahlan!” . 

Kata itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Ali bin Abi Thalib pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan?

Bagaimana lamaranmu?”.

”Entahlah..”.

”Apa maksudmu?”

”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban ?”

”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka.

”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”.

Dan ’ Ali bin Abi Thalib  pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati. 

Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” . 

Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. 
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.

Seperti ’ Ali bin Abi Thalib. Ia mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan,  dan yang kedua adalah keberanian.

Ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi (Fathimah) dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, 

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”.

Ali bin Abi Thalib terkejut dan berkata, 

Kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”.

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu”. 

Kemudian Rosulullah bersabda: 

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”.

Selanjutnya, Rasulullah mendoakan keduanya: 

“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).



‘Lailatul Qadar



Lailatul Qadar (Arab: لیلة القدر‎) adalah satu malam yang khusus terjadi di bulan ramdhan. Ayat al-Qur’an yang pertama dipercayai diturunkan pada malam ini. Malam ini disebut di dalam al-Qur’an dalam surah Al-Qadr, dan diceritakan lebih baik daripada seribu bulan. Saat pasti berlangsungnya malam ini tidak diketahui namun menurut beberapa hadis, malam ini jatuh pada 10 malam terakhir pada bulan Ramadan, tepatnya pada salah satu malam ganjil yakni malam ke-21, 23, 25, 27 atau ke-29. Malah ada sebagian ulama yang menganggap ia berlaku pada malam genap seperti malam 24 Ramadan. Walau bagaimanapun, antara hikmah malam ini dirahasiakan agar umat Islam rajin beribadah di sepanjang malam khususnya di sepuluh malam yang terakhir. Sebagian Muslim biasanya berusaha tidak melewatkan malam ini dengan menjaga diri agar berjaga pada malam-malam terakhir Ramadan sambil beribadah sepanjang malam. 10 akhir Ramadhan adalah merupakan di antara malam-malam yang penuh dengan keberkahan dan kelebihan yang tertentu. Malam-malam ini adalah merupakan malam yang ditunggu-tunggu oleh seluruh orang mukmin. Bulan Ramadhan, Al-Qur'an dan malam Lailatul qadar mempunyai hubungan yang rapat antara satu sama lain sebagaimana yang diterangkan di dalam kitab Allah dan hadis Rasulullah s.a.w. di antaranya firman Allah s.w.t.
Maksudnya: “Sesungguhnya kami menurunkan Al-Quran pada malam Lailatulqadar dan apakah yang menyebabkan engkau mengerti apa itu Lailatulqadar. Lailatulqadar lebih baik daripada 1000 bulan. Pada malam itu, para malaikat dan Jibril turun dengan keizinan daripada Tuhan mereka untuk setiap urusan. Malam ini sejahtera hingga terbit fajar”.
Sebab turun surah al-Qadr
Lailatulqadar mempunyai kelebihan yang begitu besar. Ianya lebih baik dari 1000 bulan yang lain. Sebab diturunkan ayat tersebut diriwayatkan daripada Mujahid dikatakan sebab turun ayat tersebut ialah Nabi s.a.w. telah menyebut tentang seorang lelaki daripada Bani Israel yang telah menggunakan alat senjatanya untuk berperang pada jalan Allah maka orang Islam pun kagum di atas perbuatan itu lalu Allah menurunkan ayat di atas. Riwayat yang lain pula dari Ali bin Aurah pada satu hari Rasulullah telah menyebut 4 orang Bani Israel yang telah beribadah kepada Allah selama 80 tahun. Mereka sedikitpun tidak durhaka kepada Allah lalu para sahabat kagum dengan perbuatan mereka itu. Jibril datang memberitahu kepada Rasulullah bahwa Allah w.s.t. menurunkan yang lebih baik dari amalan mereka. Jibril pun membaca surah Al-Qadar dan Jibril berkata kepada Rasulullah ayat ini lebih baik daripada apa yang engkau kagumkan ini menjadikan Rasulullah s.a.w. dan para sahabat amat gembira.
Dalam hadis Rasulullah s.a.w. menyebut
Maksudnya: “Rasulullah bersungguh-sungguh beribadah pada 10 akhir bulan Ramadhan lebih daripada yang lainnya”
Rasulullah s.a.w. melakukan ibadah pada malam itu bukan hanya setakat baginda sahaja tetapi baginda menyuruh ahli keluarga bangun bersama beribadah. Kata Aisyah r.a.
Maksudnya: “Nabi s.a.w. apabila masuk 10 akhir bulan Ramadhan baginda mengikat kainnya. Menghidupkan malam dengan beribadah dan membangunkan keluarganya untuk sama-sama beribadah. Mengikat kainnya bermaksud bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah.”
Doa-malam-lailatul-Qodar-
Doa khusus di Malam Lailatulqadar
Doa tersebut diterangkan di dalam hadis berikut
1. Hadis yang diriwayatkan daripada Aishah r.a.
Maksudnya: “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. bagimana kiranya saya mengetahui malam Lailatulqadar dengan tepat. Apa yang saya akan doakan pada saat itu. Baginda menjawab berdoalah dengan doa yang berikut”
Maksudnya: “Ya Allah ya Tuhanku sesungguhnya engkau sentiasa memaafkan salah silaf hamba lagi suka memaafkan oleh itu maafkanlah salah silafku. Terdapat juga beberapa doa yang disar ankan oleh para alim ulamak kita melakukannya seperti membaca doa
Orang yang beribadah pada 10 malam yang tersebut akan mendapat rahmat yang dijanjikan dan telah sabit di dalam hadis-hadis yang sahih bahawa malam Lailatulqadar ujud pada salah satu malam yang 10 itu terutama pada malam 21, 23, 25, 27 dan 29. Orang-orang yang tekun beribadah di dalam masa tersebut untuk menemui malam Lailatulqadar akan mendapat rahmat yang dijanjikan itu samada ia dapat menemui atau tidak dan tidak melihat apa-apa kerana yang penting yang tersebut di dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim ialah:
1. Menghayati malam tersebut dengan beribadah.
2. Beriman dengan yakin bahawa malam Lailatulqadar itu adalah benar dan dituntut menghayatinya dengan amal ibadah.
3. Amal ibadah itu dikerjakan kerana Allah semata-mata dengan mengharapkan rahmatnya dan keredaannya.
Adalah diharapkan sebelum daripada kita beramal ibadat di malam Lailatulqadar hendaklah kita bertaubat dengan sebenar-benarnya iaitu taubat nasuha dan terus beristiqamah tetap teguh mengerjakan suruhan Allah dan meninggalkan segala larangannya.
Tanda Malam Lailatulqadar
1. Abi Ibnu Ka’ab telah meriwayatkan bahawa Rasulullah S.A.W telah bersabda mengenai lailatul qadar yang artinya : Sesungguhnya matahari yang keluar pada hari itu tidak begitu bercahaya (suram). – Hadis riwayat imam Muslim dalam kitab puasa -
2. Telah diriwayatkan daripada Nabi S.A.W bahawa baginda telah bersabda yang artinya :Sesungguhnya tanda-tanda lailatul qadar, bahawa malamnya bersih suci seolah-olah padanya bulan yang bersinar, tenang sunyi, tidak sejuk padanya dan tidak panas, tiada ruang bagi bintang untuk timbul sehingga subuh, dan sesungguhnya tanda-tandanya matahari pada paginya terbit sama tiada baginya cahaya seperti bulan malam purnama tidak membenarkan untuk syaitan keluar bersamanya pada hari itu. – Hadis riwayat imam Ahmad dengan isnad jayyid daripada Ibadah bin As-Somit -
3. Dalam Mu’jam At-Tobarani Al-Kabir daripada Waailah bin Al-Asqa’ daripada Rasulullah S.A.W telah bersabda yang artinya : Malam lailatul qadar bersih, tidak sejuk, tidak panas, tidak berawan padanya, tidak hujan, tidak ada angin, tidak bersinar bintang dan daripada alamat siangnya terbit matahari dan tiada cahaya padanya(suram).
4. Telah meriwayat Al-Barraz dalam musnadnya daripada Ibn Abbas bahawa Rasulullah S.A.W telah bersabda yang artinya : Malam lailatul Qadar bersih tidak panas dan tidak pula sejuk.
Qadhi ‘Iyad telah mengatakan ada dua pendapat mengenai matahari yang terbit tanpa cahaya iaitu:
1) Ia merupakan tanda penciptaan Allah SWT.
2) Menunjukkan bahawa kerana terlalu banyak para malaikat yang berzikir kepada Allah pada malamnya dan mereka turun ke bumi yang menyebabkan sayap-sayap dan tubuh  mereka yang halus  menutupi dan menghalangi matahari dan cahayanya.
Tanda-Tanda Malam Lailatul Qadar
Diantara kita mungkin pernah mendengar tanda-tanda malam lailatul qadar yang telah tersebar di masyarakat luas. Sebagian kaum muslimin awam memiliki beragam khurafat dan keyakinan bathil seputar tanda-tanda lailatul qadar, diantaranya: pohon sujud, bangunan-bangunan tidur, air tawar berubah masin, anjing-anjing tidak menyalak, dan beberapa tanda yang jelas batil dan rosak. Maka dalam masalah ini keyakinan tersebut tidak boleh diyakini kecuali berdasarkan atas dalil, sedangkan tanda-tanda di atas sudah jelas kebatilannya kerana tidak adanya dalil baik dari al-Quran ataupun hadis yang menjelaskannya. Maka bagaimanakah tanda-tanda yang sebenar berkenaan dengan malam yang mulia ini ?
Nabi sollallahu’alaihi wa sallam pernah menggambarkan kita di beberapa sabda beliau tentang tanda-tandanya, iaitu:
1. Udara dan suasana pagi yang tenang
Ibnu Abbas radliyallahu’anhu berkata: Rasulullah sollahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Lailatul qadar adalah malam tentram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, esok paginya sang suria terbit dengan sinar lemah berwarna merah” (Hadist hasan)
2. Cahaya mentari lemah, cerah tak bersinar kuat keesokannya
Dari Ubay bin Ka’ab radliyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah sollahu’alaihi wa sallambersabda:
“Keesokan hari malam lailatul qadar matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar terang” (HR Muslim)
3. Terkadang terbawa dalam mimpi
Seperti yang terkadang dialami oleh sebagian sahabat Nabi radliyallahu’anhum
4. Bulan nampak separuh bulatan
Abu Hurairah radliyallahu’anhu pernah berkata: Kami pernah berbincang tentang lailatul qadar di sisi Rasulullah solallahu’alaihi wa sallam, beliau berkata,
“Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang berukuran separuh nampan.” (HR. Muslim)
5. Malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang
Sebagaimana sebuah hadit, dari Watsilah bin al-Asqo’ dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Lailatul qadar adalah malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi syaitan)” (HR. at-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/59 dengan sanad hasan)
6. Orang yang beribadah pada malam tersebut merasakan lazatnya ibadah, ketenangan hati dan kenikmatan bermunajat kepada Rabb-nya tidak seperti malam-malam lainnya.


7 Keistimewaan Lailatul Qadar

2. Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan
3. Lailatul Qadar adalah malam yang penuh keberkahan
4. Malaikat dan juga Ar Ruuh -yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar
5. Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’
6. Lailatul Qadar adalah malam dicatatnya takdir tahunan

7. Dosa setiap orang yang menghidupkan malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah


1. Lailatul Qadar adalah waktu diturunkannya Al Qur’an
Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Ini sudah menunjukkan keistimewaan Lailatul Qadar.
Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar: 3).
An Nakha’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Latha-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. (Zaadul Masiir, 9: 191). Ini sungguh keutamaan Lailatul Qadar yang luar biasa.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3).
Malam penuh berkah ini adalah malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan keistimewaan malam tersebut, apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.
Keistimewaan Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS. Al Qadar: 4)
Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya barokah (berkah) pada malam tersebut. Karena sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir -yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)
Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.
Yang dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr: 5)
yaitu malam tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407). Juga dapat berarti bahwa malam tersebut, banyak yang selamat dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.
Allah Ta’ala berfirman,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad Dukhan: 4).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhahhak dan ulama salaf lainnya.
Namun perlu dicatat -sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah­ dalam Syarh Muslim (8: 57)- bahwa catatan takdir tahunan tersebut tentu saja didahului oleh ilmu dan penulisan Allah. Takdir ini nantinya akan ditampakkan pada malikat dan ia akan mengetahui yang akan terjadi, lalu ia akan melakukan tugas yang diperintahkan untuknya.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Fathul Bari, 4: 251)