*Siapakah
yang tidak mengenal Wanita Ini?
Namanya
adalah Fatimah binti Muhammad (606/614 - 632) atau lebih
dikenal denganFatimah az-Zahra yang berarti Fatimah yang selalu
berseri. Ia
merupakan putri bungsu Nabi Muhammad dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadijah. Ia putri yang mirip dengan
ayahnya, bahkan Aisyah berkata ,” Aku tidak melihat seseorang yang perkataannya
dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fatimah. Rasulullah sangat
menyayangi Fatimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fatimah
sebelum menemui istri istrinya dan jika Fatimah datang mengunjungi Rasulullah,
Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga
sebaliknya yang diperbuat Fatimah bila Rasulullah datang mengunjunginya.
Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis
yang tidak hanya merupakan putri dari Rasulullah, namun juga mampu menjadi
salah satu orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau. Fatimah Az-Zahra
memiliki kepribadian yang sabar,dan penyayang karena ia tidak pernah melihat
atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Rasullullah sering sekali menyebutkan
nama Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasulullah pernah berkata "Fatimah
merupakan bidadari yang menyerupai manusia"
Dan ini Pangeran kita!
Namanya Alī bin Abī Thālib. Ia lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661. Ia adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Sosok Ali adalah lelaki sebenarnya, sifat baiknya melebihi matahari waktu dhuha. Menyibak semua masalah. Istananya hanya gubuk tua, dan Pedang berkilau adalah Harta kekayaannya. Ali juga menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali sendiri merupakan sepupu dari Nabi Muhammad SAW. Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Nabi Muhammad SAW sangat Bahagia akan Kelahiran Ali bin Abi Thalib karena beliau tidak punya anak laki-laki. Keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi Muhammad SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga dari kecil Ali sudah bersama dengan Nabi Muhammad SAW.
Ali senantiasa selalu menjaga Pandangannya untuk tidak melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Bahkan pernah suatu kali saat ia melakukan pertempuran ia melihat pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan pertempuran hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Dan ini Pangeran kita!
Namanya Alī bin Abī Thālib. Ia lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661. Ia adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Sosok Ali adalah lelaki sebenarnya, sifat baiknya melebihi matahari waktu dhuha. Menyibak semua masalah. Istananya hanya gubuk tua, dan Pedang berkilau adalah Harta kekayaannya. Ali juga menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali sendiri merupakan sepupu dari Nabi Muhammad SAW. Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Nabi Muhammad SAW sangat Bahagia akan Kelahiran Ali bin Abi Thalib karena beliau tidak punya anak laki-laki. Keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi Muhammad SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga dari kecil Ali sudah bersama dengan Nabi Muhammad SAW.
Ali senantiasa selalu menjaga Pandangannya untuk tidak melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Bahkan pernah suatu kali saat ia melakukan pertempuran ia melihat pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan meneruskan pertempuran hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Dalam kisah
lain, dengan susah payah seorang pengemis datang memasuki Masjid Nabawi di
Madinah untuk meminta sesuatu. Sayang, ia hanya melihat orang-orang
melaksanakan shalat dengan khusyuk. Rasa lapar yang kuat mendorongnya untuk
meminta-minta kepada orang-orang yang sedang shalat. Namun tak satupun
menghiraukan dan tetap khusyuk dalam shalatnya.
Diambang
keputusasaannya, pengemis itu mencoba menghampiri seseorang yang khusyuk
melakukan rukuk. Kepadanya ia minta belas kasihan. Ternyata kali ini ia
berhasil. Masih dalam keadaan rukuk, orang itu memberikan cincin besinya kepada
pengemis itu. Tidak lama setelah itu, Rasulullah memasuki masjid, melihat
pengemis itu lalu mendekatinya.
“Adakah orang yang telah memberimu sedekah?”
“Ya, alhamdulillah.”
“Siapa dia?”
“Orang yang sedang berdiri itu,” kata si pengemis sambil menunjuk dengan jari tangannya.”
“Dalam keadaan apa ia memberimu sedekah?”
“Sedang rukuk!”
“Ia adalah Ali bin Abi Thalib,” kata Nabi. Ia lalu mengumandangkan takbir dan membacakan ayat, “Dan barang siapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama Allah) itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 56).
“Ya, alhamdulillah.”
“Siapa dia?”
“Orang yang sedang berdiri itu,” kata si pengemis sambil menunjuk dengan jari tangannya.”
“Dalam keadaan apa ia memberimu sedekah?”
“Sedang rukuk!”
“Ia adalah Ali bin Abi Thalib,” kata Nabi. Ia lalu mengumandangkan takbir dan membacakan ayat, “Dan barang siapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama Allah) itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 56).
Cinta sejati
adalah cinta yang selalu bersemi dengan tidak memandang Rupa, Harta maupun
Pangkat yang ada padanya. Cinta sejati tidak akan menyakiti, membodohkan atau
bahkan menyesatkan. Cinta sejati juga tidak akan menghalangi cinta seseorang
kepada Allah dan RasulNYA. Cinta anak adam kepada Ayah Ibunya, Suaminya,
Kakaknya, Adiknya, Anak-anaknya dan semua yang dimilikinya di dunia. Mungkin
ini hanya sebuah kisah lama tetapi saya berharap kita dapat belajar dari
kisah cinta Insan Manusia yang begitu di rindukan Surga dan di Irikan oleh para
Bidadari Surga.
Kisah cinta
Ali dan Fatimah adalah salah satu kisah yang penuh Romantika dan Keberkahan
dari Allah SWT. Fathimah adalah teman karib
Ali semenjak kecil, puteri tersayang Rosulullah, sedangkan Ali bin Abi Thalib
adalah sepupu Rosulullah yang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya,
kecekatan kerjanya, parasnya maupun kecerdasannya sungguh
memesonanya.
Ali bin Abi Thalib sejak Fatimah masih kanak-kanak sudah memperhatikan
sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari ketika ayahnya (Rosulullah)
pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia
bersihkan dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia
tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan
mata gerimis dan hati menangis.
Muhammad ibn ’Abdullah (sang ayah yang Tepercaya) tidak layak diperlakukan
demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik (Fatimah) itu bangkit. Gagah ia
berjalan menuju Ka’bah, di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa
membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi
mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Ali bin Abi Thalib tak tahu
apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat dan tingkah laku Fatimah) disebut
cinta?.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang
mengejutkan bahwa Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab dan
paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan
harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak
diragukan yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali bin Abi
Thalib.
Ia merasa diuji karena merasa, apalah ia dibanding dengan Abu Bakar.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan
kerabat dekat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya
pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi
kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara Ali bin Abi Thalib bertugas
menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh
bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar;
’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.
Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib) semasa kanak-kanak kurang pergaulan.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela
Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.
Siapa budak yang dibebaskan Ali bin Abi Thalib? Dari sisi finansial, Abu
Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Ali bin Abi
Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali bin Abi Thalib.
”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku,
aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau
mempersilakannya.
Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di
hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak, dan Ali bin Abi Thalib
terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri menyambut Fathimah. Tapi,
ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar
Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang
sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah
bertekuk lutut, yaitu Umar bin Khaththab.
Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar
Fathimah. Umar bin Khaththab memang masuk Islam belakangan, sekitar tiga tahun
setelah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan
ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab
dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali
bin Abi Thalib mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku
datang bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Abu Bakar
dan Umar bin Khaththab, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab..”.
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah, di sisi ayah Fathimah. Lalu
coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin Khaththab
melakukannya?. Ali bin Abi Thalib menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi,
dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rosulullah shallallaahu
’alaihi wa sallam, maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di
siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan
bersembunyi.
Umar bin Khaththab telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali,
lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari
ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya
menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan
hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’. Umar bin Khaththab adalah lelaki
pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib), sekali lagi sadar.
Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang
belum siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
Umar bin Khaththab jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib pun
ridha.
Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk menanti. tapi mengambil
kesempatan atau mempersilakannya.
Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.
Maka Ali bin Abi Thalib pun bingung ketika mendengar kabar lamaran Umar bin
Khaththab juga ditolak.
Ingin menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Rosulullah? Yang seperti
’Utsman bin Affan, sang miliyader yang telah menikahi Ruqayyah binti
Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami
Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya
hilang kepercayaan diri Ali bin Abi Thalib. Di antara Muhajirin hanya
’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?.
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat
teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunannya.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah
yang ditunggu-tunggu Rosulullah.. ”.
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”.
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”.
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
Ali bin Abi Thalib pun menghadap Rosulullah, maka dengan memberanikan diri
untuk menyampaikan keinginannya menikahi Fathimah.
Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada
dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar
untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu
sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa
Allah Maha Kaya.
Lamarannya terjawab, ”Ahlan wa sahlan!” .
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Ali bin Abi Thalib
pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa
dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang
tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan?
Bagaimana lamaranmu?”.
”Entahlah..”.
”Apa maksudmu?”.
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban ?”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka.
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan
dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa
Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”.
Dan ’ Ali bin Abi Thalib pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan
baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya
tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian
untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa
‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” .
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua
perasaan dengan tanggung jawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’ Ali bin Abi Thalib. Ia mempersilakan, atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan, dan yang kedua adalah keberanian.
Ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi (Fathimah)
dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada
‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh
cinta pada seorang pemuda”.
Ali bin Abi Thalib terkejut dan berkata,
“Kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda
itu?”.
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah
dirimu”.
Kemudian Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan
Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah
(dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”.
Selanjutnya, Rasulullah mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan
kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari
kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah
2:183, bab4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar