Dalam Shahîh Muslim (IV/324 no. 876) dari hadits Abu
Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: “قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ”. فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ:{ الْحَمْدُ لِلَّهِرَبِّ الْعَالَمِينَ }، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:
“حَمِدَنِي عَبْدِي”. وَإِذَا قَالَ: { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }, قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:
“أَثْنَىعَلَيَّ عَبْدِي”. وَإِذَا قَالَ:{ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ }، قَالَ:
“مَجَّدَنِي عَبْدِي” وَقَالَ مَرَّةً: “فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي”. فَإِذَا قَالَ:{ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ }، قَالَ:
“هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ” فَإِذَا قَالَ:
{ اهْدِنَا الصِّرَاطَالْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ}, قَالَ:
“هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَاسَأَلَ
Allah ta’ala berfirman, “Aku membagi shalat (surat
al-Fatihah) [Lihat: Tafsîr al-Qurthubi (I/146)] antara diri-Ku dengan hamba-Ku
dua bagian [maksud dari pembagian menjadi dua bagian adalah: bagian setengah
pertama surat al-Fatihah sampai ayat kelima adalah pujian hamba untuk Allah,
sedangkan bagian setengah kedua yaitu dari ayat keenam sampai akhir adalah
permohonan seorang hamba untuk dirinya sendiri. Lihat: Tafsîr Sûrah al-Fâtihah
karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hal. 33-34)], dan hamba-Ku akan memperoleh
apa yang dimintanya. Tatkala insan mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah Rabb
semesta alam,’ Allah ta’ala berkata, ‘Hambaku telah memuji-Ku.’
Jika ia mengucapkan, ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang’, Allah ta’ala berkata, ‘Hamba-Ku telah memuliakan diri-Ku.’
Saat ia mengucapkan, ‘Penguasa hari pembalasan’, Allah
ta’ala berfirman, ‘Hamba-Ku telah mengagungkan diri-Ku.’ Di lain kesempatan
Allah berkata, ‘Hamba-Ku telah berserah diri pada-Ku.’
Manakala ia mengucapkan, ‘Hanya kepada-Mu-lah aku menyembah
dan hanya kepada-Mu-lah aku memohon pertolongan’, Allah ta’ala berkata, ‘Ini
(merupakan urusan) antara Aku dengan hamba-Ku, dan hamba-Ku akan memperoleh apa
yang dimintanya.’
Dan ketika ia mengucapkan, ‘Tunjukilah kami jalan yang
lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan, bukan
(jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat’, Allah
ta’ala menjawab, ‘Inilah (hak) milik hamba-Ku, dan hamba-Ku akan memperoleh apa
yang dimintanya.’”
Imam Ibn Rajab (w. 795 H) menjelaskan bahwa “hadits di atas
menunjukkan bahwa Allah mendengarkan bacaan orang yang shalat; sebab dia sedang
bermunajat (berbisik-bisik) dengan Rabb-nya. Dan Allah menjawab setiap bisikan
hamba-Nya, kalimat per kalimat.” [Tafsîr Ibn Rajab al-Hambali dihimpun oleh
Thâriq bin 'Awadhallâh (I/68-69)].
Maka seorang hamba tatkala membaca surat al-Fatihah,
hendaklah ia membacanya dengan pelan ayat per ayat. Setiap membaca suatu ayat
dia diam sejenak menanti jawaban Allah akan munajatnya [lihat: Ash-Shalat wa
Hukm Târikihâ karya Ibn al-Qayyim (hal. 172)].
Andaikan kita meresapi keterangan di atas dan mencoba untuk
merasakannya; niscaya kita akan mendapatkan nikmatnya bermunajat dengan Allah
ta’ala. Setiap dirundung masalah kita selalu bergegas menghadap Rabbul alamin.
Memohon pada-Nya bantuan, pertolongan, limpahan kasih sayang dan curahan
ampunan-Nya [An-Nazharât al-Mâti'ah (hal.27)]. Sebagaimana yang dipraktikkan
teladan kita; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap dirundung
masalah, beliau selalu bergegas shalat. Demikian yang diceritakan Hudzaifah
radhiyallahu ‘anhu,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
“Jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dirundung masalah, beliau bergegas shalat.” (H.R.
Abu Dawud (II/54 no. 1319) dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani) [Lihat:
Shahîh Sunan Abi Dawud].
Dan jika datang waktu shalat fardhu beliau bersabda,
قُمْ يَا بِلَالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ
“Berdirilah wahai
Bilal (lantunkanlah adzan). Tenangkan dan istirahatkanlah kami dengan shalat.”
(H.R. Abu Dawud (V/165 no. 4986) dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani).
Ibn al-Atsir (w. 606 H) menjelaskan, bahwa maksud hadits di
atas adalah: dengan shalat hati kami akan tenteram dari pikiran tentang
kewajiban melaksanakannya. Atau kami akan merasa tentram dan bisa melepaskan
kepenatan beban pekerjaan duniawi yang melelahkan. Dengan shalat seorang hamba
akan merasa tenang, tenteram dan bisa beristirahat; sebab di dalamnya seorang
hamba bisa berkesempatan untuk munajat dengan Rabb-nya [An-Nihâyah fî Gharîb
al-Hadîts wa al-Atsar (II/274) dan lihat pula: 'Aun al-Ma'bûd karya Syamsul Haq
al-'Azhîm Âbâdi (XIII/225)].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar